Oleh DJULIANTO SUSANTIO
Pada saat dibangun Belanda, kota Batavia berbentuk bujur sangkar dengan panjang kira-kira 2.250 meter dan lebar 1.500 meter. Kota ini terbelah oleh Ciliwung menjadi dua bagian yang hampir sama besar. Masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit-parit yang saling sejajar dan saling simpang. Sejumlah jalan juga dibangun sehingga penampang kota berpola kisi-kisi. Pola seperti inilah yang dipandang mampu melawan amukan air di kala laut pasang dan banjir di dalam kota karena air akan saling berpencar ke segala penjuru. Saat ini kota tersebut berada di wilayah Kota Tua Jakarta.
Bencana Ekologi
Tidak disangka-sangka, pada 1699 Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya sungguh berdampak besar. Karena itu iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggelantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Batavia pun berganti julukan menjadi “Kuburan dari Timur”, bukan lagi “Ratu dari Timur”. Sejak itu, Ciliwung mulai kotor.
Seperti halnya pemerintahan zaman sekarang, dulu pun banyak pihak saling tuding terhadap bencana ekologi tersebut. Mereka bukannya memasalahkan kebijakan Kompeni atau VOC sendiri, tetapi justru cenderung menuding pendahulu-pendahulunya. Mereka dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata para penentang.
Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu Batavia mempunyai magnet kuat.
Segera, lingkungan alam Batavia mengalami perubahan fundamental setelah berbagai daerah di sekitarnya dibersihkan dari hutan-hutannya untuk membudidayakan tanaman tebu. Ternyata, budi daya itu juga mencemari air dan menanduskan tanah. Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia, sekaligus mengurangi daerah resapan air.
Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.
Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi 500.000 orang. Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka. Sayang, kini sudah berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian).
Begitu pula adanya wilayah yang berawalan kampung. Dulu istilah kampung mengacu pada sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal.
Dibandingkan kota, memang fasilitas di kampung tidak lengkap. Sanitasi di kampung tidak bagus karena banyak warga membuang hajat dan sampah sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air banjir menjadi sangat kotor.
Banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932. Banjir itu merupakan siklus 25 tahunan, penyebabnya waktu itu adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).
Siklus 25 tahunan terulang kembali pada awal Februari 2007 lalu. Memang, kota-kota di negara maju saja sering kali tidak berdaya menghadapi bencana alam. Mudah-mudahan kita mengambil hikmahnya bahwa semakin tertutupnya daerah resapan air, maka banjir semakin besar. Begitu pula semakin buruknya sanitasi.
Sanitasi terburuk umumnya terjadi pada daerah bantaran sungai. Semakin banyaknya pendatang tentu semakin banyaknya permukiman warga sekaligus sampah yang dibuang ke kali. Sudah jelas, perilaku warga yang demikian perlu diubah sehingga banjir yang mungkin terjadi lagi bisa diminimalisasi.***
DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, tinggal di Jakarta
Sumber:
Pelabuhan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Tempo ‘Doeloe’
Sungai Ciliwung dan Gunung Salak di Bogor, 1875
|
Persinggungan/sejajar Ciliwung-Cisadane di Bogor |
Pada masa ‘baheula’ (Sunda) atau pada masa ‘tempo doeloe’ (Betawi). keberadaan Sungai Ciliwung pertamakali diketahui di dalam laporan Tome Pires (1513). Di Batavia tersiar kabar yang menyebutkan bahwa ada kerajaan Sunda yang beribukota Pakuan terletak di daerah pegunungan dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Lokasi ibukota kerajaan ini tepat berada pada posisi jarak terdekat di antara dua sungai yang sejajar (lihat gambar disamping). Dua sungai itu adalah Sungai Ciliwung (timur/kanan) dan Sungai Cisadane (barat/kiri). Karena posisinya yang sejajar maka letak ibukota Pakuan itu juga disebut sebagai Pajajaraan. Pada masa ini lokasinya antara Batu Tulis dan Empang Laporan ini ada tidak lama setelah Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka (1511) dan Portugis juga telah menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang terutama lada (1512).
Daftar Perang Belanda di Nusantara |
Batavia 1730 |
Sungai Ciliwung adalah tempat dimana Belanda pertama kali membangun benteng. Letak benteng ini persis berada di tepi timur muara Sungai Ciliwung, sedang di tepi barat muaranya terdapat gedung Culemborg dan kantor pabean. Ini berarti Kota Batavia sendiri sebenarnya terletak di selatan benteng yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi yang dilengkapi beberapa lapis parit pertahanan. Kemudian pada 4 Maret 1621 pemerintah kota (Stad Batavia) Kota Batavia dibentuk. Selanjutnya dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya ke seluruh penjuru wilayah Nusantara. Selanjutnya Belanda pun sibuk dengan berbagai peperangan yang beberapa diantaranya terbilang alot. Dalam fase awal di Kota Batavia ini, selama delapan tahun pertama Kota Batavia sudah meluas menjadi tiga kali lipat dan akhirnya proses pembangunan Kota Batavia sendiri selesai pada tahun 1650.
Batavia 1750 |
Di dalam Kota Batavia sendiri dinamika sosial berkembang pesat. Pada masa awal Kota Batavia perahu -perahu berlayar lalu lalang disepanjang Ciliwung untuk mengangkut barang dari gudang ke kapal yang berlabuh di laut. Tahun 1648 Beng Gan seoarang Kapitein der Chinezen (kepala warga Cina di Batavia) mendapat izin dari Belanda untuk membuat kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat di sana. Tahun 1654 diambil alih Belanda dengan harga 1.000 real (Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara). Kali ini oleh orang Belanda dinamakan Molenvliet).
Batavia 1754 |
Sementara itu batas-batas kota juga mengalami perubahan. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684) yang mana dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak. Selanjutnya dengan beberapa persetujuan bersama antara Belanda dengan Banten dan Mataram maka daerah antara Cisadane dan Citarum dianggap sebagai wilayah Belanda. Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula berada di Kali Angke dan kemudian bergeser menjadi Sungai Cisadane.
van Riebeeck |
Peta Sungai Ciliwung di Depok 1850 |
Peta Bojong-Pondok Cina, 1900 |
Pondok Cina adalah nama kampung yang disebut dilalui dalam ekspedisi ke Pakuan, Pajajaran yang dipimpin Abraham Jan van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda) pada tahun 1703. Kampung ini diceritakan sebagai sebuah tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang berasal dari Batavia yang hendak berjualan ke Depok. Konon waktu itu nama kampong tersebut dikaitkan dengan suatu kebijakan Cornelis Chastelein yang melarang orang-orang Tionghoa tidak boleh tinggal di Depok. Para pedagang ini hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh bertempat tinggal. Oleh karena para pedagang- itu datangnya menjelang matahari terbenam, maka pada malam hari mereka istirahat dan membuat pondok-pondok sederhana di luar wilayah Depok yang bernama Kampung Bojong. Menjelang subuh orang-orang Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok. Area sekitar tempat para pedagang membuat pondok tersebut sering disebut sebagai Kampung Pondok Cina.
Sungai Ciliwung di Tanjung Timur 1930 |
Dalam peta topografi berjudul ‘Bodjong: herzien in het jaar 1900 / Topographisch Bureau’ kedua nama kampung ini eksis. Kampung Bojong letaknya di sekitar Kober (sekitar fly over UI) pada masa ini, sementara Kampung Pondok Cina berada di sekitar stasion kereta api dan tepi Sungai Ciliwung di sekitar Margo City yang sekarang. Tepat di area Margo City yang sekarang dulunya adalah landhuis yang boleh jadi salah satu situsnya yang dikenal sebagai Rumah Tua Pondok Cina.
Sungai Ciliwung di Pondok Cina 1930 |
Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari landhuis dan di belakang Margo City yang sekarang. Di area ini pinggir sungai cukup landai dan berseberangan dengan sisi yang lain yang juga landai yang masuk Kampung Sugutamu. Antara dua sisi sungai ini sering dan menjadi jalur lintas yang menghubungkan Kampung Pondok Cina dan Kampung Sugutamu. Aktivitas yang selalu ramai dikedua sisi sungai diduga Pondok Cina menjadi salah satu pelabuhan yang ada di Sungai Ciliwung pada masa lampau.
“…Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennj a tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennj a,…”
Sungai Ciliwung di Depok 1900 |
Sungai Ciliwung di Depok 1930
|
Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari perkampungan Depok yang boleh jadi lokasi tersebut adalah Kampung Parung Malela. Di area ini pinggir sungai cukup landai dan cukup mudah dilalui untuk menuju pusat perkampungan Depok. Pada sisi sebelah lain Sungai Ciliwung tampaknya cukup terjal dan menjadi batas-batas tanah Cornelis Chastelein. Aktivitas yang selalu ramai di sisi sungai Kampung Parung Malela ini menjadi salah satu pelabuhan yang ada di Sungai Ciliwung pada masa lampau.
Kampung Bojong dan Kampung Pondok Terong, 1900 |
Pondok Terong adalah sebuah kampung di sebelah hulu Depok yang bertetangga dengan Kampung Bojong. Pada tahun 1952 beberapa kampung yang dulunya bertetangga dengan Pondok Terong dijadikan sebuah desa yang mana nama desa diambil (kombinasi) dari dua kampong yakni Kampung Bojong dan Kampung Pondok Terong. Di masa selanjutnya (masih era Bojong Gede), Desa Bojong Pondok Terong ini dimekarkan yang mana desa induk tetap dengan nama Desa Bojong Pondok Terong dan desa pemekaran dengan nama Desa Pondok Jaya. Anehnya, Desa Pondok Jaya ini di masa lalu merupakan wilayah Kampung Pondok Terong sebelum digabungkan menjadi Desa Bojong Pondok Terong.
Sungai Ciliwung di Pondok Terong 1915
|
Sungai Ciliwung di Jatinagera 1880
|
Perayaan Lomba Hias Perahu Orang Tionghoa di Jatinegara 1895
|
Perahu di Matraman 1890
|
Jembatan di Ciliwung di Matraman 1890 |
Perahu di Pejambon 1900 |
SUMBER:
http://poestahadepok.blogspot.com/2013/08/pelabuhan-di-daerah-aliran-sungai-das.html#more
http://poestahadepok.blogspot.com/2013/08/pelabuhan-di-daerah-aliran-sungai-das.html#more
Wah artikelnya sangat bagus gan. saya jadi tahu tentang masalalu kota Batavia. makasih gan infonya.