Dulu, Ciliwung Paling Bersih dan Paling Baik di Dunia

Oleh DJULIANTO SUSANTIO

Setiap kali banjir melanda Jakarta, orang selalu menghubungkannya dengan Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya. Sungai-sungai di Jakarta memang sudah dianggap merupakan tempat pembuangan sampah yang paling murah. Tanpa peduli dampaknya, pembuangan sampah terus saja terjadi, meskipun pada 2002 lalu Jakarta pernah mengalami pula banjir hebat. Namun berbeda dengan keadaan pada masa kini, pada masa lampau Ciliwung merupakan sumber kehidupan utama masyarakat karena berbagai aktivitas dilakukan di sini. Mulai dari keperluan rumah tangga sehari-hari hingga jalur perdagangan internasional. Ciliwung mulai berperan sejak zaman purba, ketika manusia prasejarah menghuni Jakarta.Puncaknya, pada abad ke-15 dan ke-16 pelabuhan Sunda Kelapa di muara Ciliwung, telah dikenal luas oleh pedagang-pedagang seantero Nusantara dan internasional. Orang-orang Belanda yang datang paling awal antara lain menulis, “Kota ini dibangun seperti kebanyakan kota-kota di Pulau Jawa. Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota” (Hikayat Jakarta, 1988). Itulah Ciliwung pada awalnya.Pelabuhan Sunda Kelapa dikatakan ramai didatangi pedagang, meskipun terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit. Namun setelah dibersihkan, Ciliwung menjadi lebar. Hal ini memungkinkan sepuluh buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa.Menurut arsip sejarah lain, air Ciliwung waktu itu mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Meskipun gempa-gempa besar sempat mengacaukan aliran pembuangan air, Ciliwung tidak seberapa tercemar. Karena itu banyak kapten kapal masih singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik, untuk diisikan ke dalam botol-botol dan guci-guci mereka.Sejak kedatangan bangsa Belanda, maka Batavia (nama pengganti Sunda Kelapa) dibangun seperti tata letak kota-kota di Belanda, yakni berupa tembok kota, parit, dan berderet-deret rumah. Dengan demikian, menurut Jean-Baptiste Tavernier sebagaimana dikutip van Gorkom, Ciliwung memiliki air yang paling bersih dan paling baik di dunia (Persekutuan Aneh, 1988).Tidak berlebihan kalau ketika itu Batavia mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak orang asing yang datang, tak segan-segan memberikan sanjungan yang tinggi kepada Batavia. Bahkan menyamakannya dengan negara-negara di Eropa.

Pada saat dibangun Belanda, kota Batavia berbentuk bujur sangkar dengan panjang kira-kira 2.250 meter dan lebar 1.500 meter. Kota ini terbelah oleh Ciliwung menjadi dua bagian yang hampir sama besar. Masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit-parit yang saling sejajar dan saling simpang. Sejumlah jalan juga dibangun sehingga penampang kota berpola kisi-kisi. Pola seperti inilah yang dipandang mampu melawan amukan air di kala laut pasang dan banjir di dalam kota karena air akan saling berpencar ke segala penjuru. Saat ini kota tersebut berada di wilayah Kota Tua Jakarta.

Bencana Ekologi

Tidak disangka-sangka, pada 1699 Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya sungguh berdampak besar. Karena itu iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggelantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Batavia pun berganti julukan menjadi “Kuburan dari Timur”, bukan lagi “Ratu dari Timur”. Sejak itu, Ciliwung mulai kotor.

Seperti halnya pemerintahan zaman sekarang, dulu pun banyak pihak saling tuding terhadap bencana ekologi tersebut. Mereka bukannya memasalahkan kebijakan Kompeni atau VOC sendiri, tetapi justru cenderung menuding pendahulu-pendahulunya. Mereka dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata para penentang.

Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu Batavia mempunyai magnet kuat.

Segera, lingkungan alam Batavia mengalami perubahan fundamental setelah berbagai daerah di sekitarnya dibersihkan dari hutan-hutannya untuk membudidayakan tanaman tebu. Ternyata, budi daya itu juga mencemari air dan menanduskan tanah. Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia, sekaligus mengurangi daerah resapan air.

Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.

Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi 500.000 orang. Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka. Sayang, kini sudah berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian).

Begitu pula adanya wilayah yang berawalan kampung. Dulu istilah kampung mengacu pada sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal.

Dibandingkan kota, memang fasilitas di kampung tidak lengkap. Sanitasi di kampung tidak bagus karena banyak warga membuang hajat dan sampah sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air banjir menjadi sangat kotor.

Banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932. Banjir itu merupakan siklus 25 tahunan, penyebabnya waktu itu adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).

Siklus 25 tahunan terulang kembali pada awal Februari 2007 lalu. Memang, kota-kota di negara maju saja sering kali tidak berdaya menghadapi bencana alam. Mudah-mudahan kita mengambil hikmahnya bahwa semakin tertutupnya daerah resapan air, maka banjir semakin besar. Begitu pula semakin buruknya sanitasi.

Sanitasi terburuk umumnya terjadi pada daerah bantaran sungai. Semakin banyaknya pendatang tentu semakin banyaknya permukiman warga sekaligus sampah yang dibuang ke kali. Sudah jelas, perilaku warga yang demikian perlu diubah sehingga banjir yang mungkin terjadi lagi bisa diminimalisasi.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, tinggal di Jakarta

Sumber:

Dulu, Ciliwung Paling Bersih dan Paling Baik di Dunia

Pelabuhan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Tempo ‘Doeloe’

Laporan Tome Pires (1513) tentang Ciliwung dan Pakuan, Pajajaran
 
 
Sungai Ciliwung dan Gunung Salak di Bogor, 1875
Sungai Ciliwung hulunya bukanlah di Gunung Salak. Akan tetapi pemandangan Sungai Ciliwung berlatar Gunung Salak sungguh menakjubkan. Hulu Sungai Ciliwung sebenarnya berada di Gunung Pangrango. Oleh karenanya, sungai ini mengalir melalui Puncak via Ciawi, lalu membelok ke barat melalui Bogor dan kemudian berbelok ke utara melalui Depok dan Jakarta dan akhirnya bermuara ke laut di Teluk Jakarta. Inilah pemahaman kita pada masa kini tentang Sungai Ciliwung.
 
Persinggungan/sejajar Ciliwung-Cisadane di Bogor

Pada masa ‘baheula’ (Sunda) atau pada masa ‘tempo doeloe’ (Betawi). keberadaan Sungai Ciliwung pertamakali diketahui di dalam laporan Tome Pires (1513). Di Batavia tersiar kabar yang menyebutkan bahwa ada kerajaan Sunda yang beribukota Pakuan terletak di daerah pegunungan dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Lokasi ibukota kerajaan ini tepat berada pada posisi jarak terdekat di antara dua sungai yang sejajar (lihat gambar disamping). Dua sungai itu adalah Sungai Ciliwung (timur/kanan) dan Sungai Cisadane (barat/kiri). Karena posisinya yang sejajar maka letak ibukota Pakuan itu juga disebut sebagai Pajajaraan. Pada masa ini lokasinya antara Batu Tulis dan Empang Laporan ini ada tidak lama setelah Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka (1511) dan Portugis juga telah menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang terutama lada (1512).

Selanjutnya pada tahun 1522 di Pelabuhan Kalapa ini dilakukan perjanjian persahabatan perdagangan antara Portugis dengan Kerajaaan Pajajaran.  Adanya perjanjian ini maka Portugis diperbolehkan membangun gudang dan bahkan benteng di Pelabuhan Kalapa. Dalam perkembanganya, kerajaan Sunda, yang masih beragama Hindu  meminta bantuan Portugis untuk menghadapi kemungkinan serangan oleh Demak yang beragama Islam. MoU kerjasama ditandatangani dan sebuah ‘prasasti’ didirikan di Pelabuhan Sunda Kalapa. Namun baru lima tahun (1527) perjanjian bilateral antara Portugis dan Pajajaran tersebut dibuat, pelabuhan pusat perdagangan ‘internasional’ ini telah dikuasai oleh pasukan yang dipimpin Fatahillah  yang yang telah lebih dahulu sukses mengusir pasukan Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Atas kemenangan ini, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta (Kota Kemenangan). Ini dengan sendirinya Cirebon yang dibantu Demak lalu menyerahkan wilayah Sunda Kelapa yang dikuasai ke Banten. Dengan semakin menguatnya Banten dan Pajajaran menjadi terkurung di pedalaman, maka Banten mulai melkukan invasi besar-besar ke wilayah Pajajaran. Pada tahun 1579 Banten berhasil menyerang dan menghacurkan Pajajaran. Pasca peran besar dengan Pajajaran, Kesultanan Banten merebut sisa-sisa kerajaan Sunda tersebut dan menjadikannya beragama Islam. Raja Sunda terakhir (Prabu Suryakancana) tampaknya enggan memeluk Islam dan memilih meninggalkan ibukota Pakuan tetapi meninggal dalam pelarian.
***
Sementara itu pada tahun 1595 diketahui ada ekspedisi Belanda di bawah Cornelis de Houtman berangkat ke Hindia Belanda. Secara perlahan-lahan Belanda menjadi penguasa wilayah yang sebelumnya dikuasai Portugias dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan peran Majapahit sebelumnya.  Pada awalnya perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Selanjutnya kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat lebih-lebih dengan berdirinya VOC pada tahun 1602 yang akhirnya Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon, demikian pula benteng Inggris di Pulau Seram. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.
 
Daftar Perang Belanda di  Nusantara
Dari Maluku keperkasaan Belanda semakin menonjol dan kemudian merangsek ke barat hingga pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen dapat menghancurkan Jayakarta. Kota Jayakarta diganti Batavia. Para pedagang Belanda yang datang pertamakali ke Jayakarta (sebelumnya Pelabuhan Sunda Kalapa) merasakan bahwa Sungai Ciliwung lebih dalam dibanding Sungai Banten (Cisadane) sehingga akan dimungkinkan dapat dilayari lebih jauh ke pedalaman.

 
Batavia 1730

Sungai Ciliwung adalah tempat dimana Belanda pertama kali membangun benteng. Letak benteng ini persis berada di tepi timur muara Sungai Ciliwung, sedang di tepi barat muaranya terdapat gedung Culemborg dan kantor pabean. Ini berarti Kota Batavia sendiri sebenarnya terletak di selatan benteng yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi yang dilengkapi beberapa lapis parit pertahanan. Kemudian pada 4 Maret 1621 pemerintah kota (Stad Batavia) Kota Batavia dibentuk. Selanjutnya dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya ke seluruh penjuru wilayah Nusantara. Selanjutnya Belanda pun sibuk dengan berbagai peperangan yang beberapa diantaranya terbilang alot. Dalam fase awal di Kota Batavia ini, selama delapan tahun pertama Kota Batavia sudah meluas menjadi tiga kali lipat dan akhirnya proses pembangunan Kota Batavia sendiri selesai pada tahun 1650.

 
Batavia 1750

Di dalam Kota Batavia sendiri dinamika sosial berkembang pesat. Pada masa awal Kota Batavia perahu -perahu berlayar lalu lalang disepanjang Ciliwung untuk mengangkut barang dari gudang ke kapal yang berlabuh di laut. Tahun 1648 Beng Gan seoarang Kapitein der Chinezen (kepala warga Cina di Batavia) mendapat izin dari Belanda untuk membuat kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat di sana. Tahun 1654 diambil alih Belanda dengan harga 1.000 real (Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara). Kali ini oleh orang Belanda dinamakan Molenvliet).

 
Batavia 1754

Sementara itu batas-batas kota juga mengalami perubahan. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684) yang mana dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak. Selanjutnya dengan beberapa persetujuan bersama antara Belanda dengan Banten dan Mataram maka daerah antara Cisadane dan Citarum dianggap sebagai wilayah Belanda. Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula berada di Kali Angke dan kemudian bergeser menjadi Sungai Cisadane.

Ekspedisi Mr Abraham van Riebeeck 1703 ke Pakuan, Pajajaran via Ciliwung
 
 
van Riebeeck
Suatu ekspedisi tahun 1703 menuju Pakuan Pajajaran di hulu Sungai Ciliwung dilakukan. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum di dalam peta Portugis sejak awal dan juga di dalam peta yang berjudul Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago 1498-1850. Jauh sebelumnya diketahui bahwa di sepanjang Sungai Ciliwung juga terdapat beberapa kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan ini, diantaranya Kerajaan Muara Beres (dekat Bojong Gede).
Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Abraham Jan van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1709-1713). Rute yang dilalui: Benteng – Cililitan – Tanjung (Barat) – Seringsing (Serengseng) – Pondok Cina – Depok – Pondok Terong – Bojong Manggis (dekat Bojonggede) – Kedunghalang – Parungangsana (Tanah Baru). Perjalanan ini di satu sisi menunjukkan telah adanya nama Depok sebelum Chastelein membeli tanah di Depok (1696) sementara di sisi lain, beberapa ekspedisi tersebut tidak diceritakan apakah dilakukan lewat sungai atau perjalanan daerah aliran sungai (DAS). Nama-nama kampung yang dilalui oleh ekspedisi Abraham Jan van Riebeeck juga tercantum dengan jelas dalam peta topografi yang diterbitkan pada tahun 1850. Nama-nama yang disebut dalam ekspedisi van Riebeeck ini kebetulan memang semuanya berada di pinggir (DAS) Sungai Ciliwung.
 
Peta Sungai Ciliwung di Depok 1850
Pondok Cina
 
Peta Bojong-Pondok Cina, 1900

Pondok Cina adalah nama kampung yang disebut dilalui dalam ekspedisi ke Pakuan, Pajajaran yang dipimpin Abraham Jan van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda) pada tahun 1703. Kampung ini diceritakan sebagai sebuah tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang berasal dari Batavia yang hendak berjualan ke Depok. Konon waktu itu nama kampong tersebut dikaitkan dengan suatu kebijakan Cornelis Chastelein yang melarang orang-orang Tionghoa tidak boleh tinggal di Depok. Para pedagang ini hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh bertempat tinggal. Oleh karena para pedagang- itu datangnya menjelang matahari terbenam, maka pada malam hari mereka istirahat dan membuat pondok-pondok sederhana di luar wilayah Depok yang bernama Kampung Bojong. Menjelang subuh orang-orang Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok. Area sekitar tempat para pedagang membuat pondok tersebut sering disebut sebagai Kampung Pondok Cina.

 
Sungai Ciliwung di Tanjung Timur 1930

Dalam peta topografi berjudul ‘Bodjong: herzien in het jaar 1900 / Topographisch Bureau’ kedua nama kampung ini eksis.  Kampung Bojong letaknya di sekitar Kober (sekitar fly over UI) pada masa ini, sementara Kampung Pondok Cina berada di sekitar stasion kereta api dan tepi Sungai Ciliwung di sekitar Margo City yang sekarang. Tepat di area Margo City yang sekarang dulunya adalah landhuis yang boleh jadi salah satu situsnya yang dikenal sebagai Rumah Tua Pondok Cina.

 
Sungai Ciliwung di Pondok Cina 1930

Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari landhuis dan di belakang Margo City yang sekarang. Di area ini pinggir sungai cukup landai dan berseberangan dengan sisi yang lain yang juga landai yang masuk Kampung Sugutamu. Antara dua sisi sungai ini sering dan menjadi jalur lintas yang menghubungkan Kampung Pondok Cina dan Kampung Sugutamu. Aktivitas yang selalu ramai dikedua sisi sungai diduga Pondok Cina menjadi salah satu pelabuhan yang ada di Sungai Ciliwung pada masa lampau.

Depok
Depok adalah nama kampung yang disebut dilalui dalam ekspedisi ke Pakuan, Pajajaran yang dipimpin Abraham Jan van Riebeeck (pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda) pada tahun 1703. Kampung ini semakin terkenal ketika seorang swasta bernama Cornelis Chastelein di bawah wewenang Kerajaan Belanda pada 18 Mei 1696 membeli tiga bidang tanah di hutan sebelah selatan Batavia yang diveritakan hanya bisa dicapai melalui Sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah itu terletak di kampung Mampang, Karanganyar, dan Depok. ditambah sedikit wilayah Srengseng, Batavia plus Ratujaya, Bojong Gede, Buitenzorg (Bogor).
Total Chastelein menguasai tanah kira-kira luasnya 1.244 Ha. Tahun itu juga, ia mulai menekuni bidang pertanian di bilangan Seringsing (Serengseng) dan mengembangkannya di Depok degan dibantu para budak pekerja. Menjelang ajalnya 13 Maret 1714 Cornelis Chastelein menulis wasiat berisi antara lain, mewariskan tanahnya kepada seluruh pekerjanya yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status pekerja menjadi orang merdeka. Pada 28 juni 1714 Cornelis Chastelein meninggal dunia. Di dalam wasiat itu yang ditulis dengan ejaan mirip van Ophuijsen itu adalah sepanggal kalimat hasil terjemahan Bahasa Belanda kuno dari surat wasiat tertanggal 14 Maret 1714 yang ditulis tangan Cornelis Chastelein. Penggalan wasiat tersebut adalah:

 “…Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennj a tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennj a,…”

 
Sungai Ciliwung di Depok 1900
Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat wasiat itu boleh jadi batas tanah yang berada di wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok yang  sekarang (persisnya di selatan Cinere). Saat pemerintahan Daendels, banyak tanah di Pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga terdapat  landhuis yang dimiliki oleh para tuan-tuan tanah. Di daerah Depok terdapat landhuis Pondok Cina, Mampang, Cinere, Citayam dan Bojong Gede. Sungai besar yang dimaksud adalah Sungai Ciliwung. Sekalipun istilah besar itu relatif bahkan jika diperbandingkan antar tahun-tahun yang berbeda maka menurut pengertian saat itu Sungai Ciliwung sangat besar dan mungkin sulit diseberangi. Soal lebar Sungai Ciliwung ini hal yang sama juga telah digambarkan di dalam laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara “Sungai Besar” dan “Sungai Tanggerang” (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane).
 
Sungai Ciliwung di Depok 1930

Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari perkampungan Depok yang boleh jadi lokasi tersebut adalah Kampung Parung Malela. Di area ini pinggir sungai cukup landai dan cukup mudah dilalui untuk menuju pusat perkampungan Depok.  Pada sisi sebelah lain Sungai Ciliwung tampaknya cukup terjal dan menjadi batas-batas tanah Cornelis Chastelein.  Aktivitas yang selalu ramai di sisi sungai Kampung Parung Malela ini menjadi salah satu pelabuhan yang ada di Sungai Ciliwung pada masa lampau.

Pondok Terong
 
Kampung Bojong dan Kampung Pondok Terong, 1900

Pondok Terong adalah sebuah kampung di sebelah hulu Depok yang bertetangga dengan Kampung Bojong. Pada tahun 1952 beberapa kampung yang dulunya bertetangga dengan Pondok Terong dijadikan sebuah desa yang mana nama desa diambil (kombinasi) dari dua kampong yakni Kampung Bojong dan Kampung Pondok Terong. Di masa selanjutnya (masih era Bojong Gede), Desa Bojong Pondok Terong ini dimekarkan yang mana desa induk tetap dengan nama Desa Bojong Pondok Terong dan desa pemekaran dengan nama Desa Pondok Jaya. Anehnya, Desa Pondok Jaya ini di masa lalu merupakan wilayah Kampung Pondok Terong sebelum digabungkan menjadi Desa Bojong Pondok Terong.

 
Sungai Ciliwung di Pondok Terong 1915
Seandainya ekspedisi Riebeeck melalui jalan Sungai Ciliwung, maka posisi yang disebut persinggahan ekspedisi tersebut adalah sisi sungai yang berada tidak jauh dari perkampungan Pondok Terong. Di area ini pinggir sungai cukup landai dan cukup mudah dilalui untuk menuju pusat perkampungan.  Pada sisi sebelah lain Sungai Ciliwung tampaknya cukup terjal.  Ini berarti dugaan pelabuhan di Sungai Ciliwung di Pondok Terong adalah salah satu sisi di Sungai Ciliwung pada masa lampau yang letaknya pada masa ini tidak jauh dari perumahan Permata Depok.
Sungai Ciliwung di Batavia dan Meester Cornelis Tempo Doeloe
Sungai Ciliwung yang terlihat sekarang besar kemungkinan berbeda dengan gambaran Sungai Ciliwung pada masa lampau.  Pada masa-masa awal perjalanan menuju pakuan boleh jadi ekspedisi dapat dilakukan  lewat sungai sampai ke hulu bahkan ke Pakuan. Namun pada masa-masa selanjutnya kapasitas sungai untuk bisa ditelusuri misalnya sampai ke Depok tampaknya semakin sulit dijelaskan  karena kurangya bukti. Pada masa ini tidak satu ruas pun Sungai Ciliwung dapat diarungi sekalipun sangat jelas bukti (foto) yang masih tersisa dapat ditampilkan. Sehubungan dengan semakin dangkalnya Sungai Ciliwung diduga gempa bumi yang terjadi pada 1699 telah mengakibatkan kenaikan tingkat pengendapan di dalam Sungai Ciliwung khususnya yang berada dekat muara. Hal yang sangat mungkin menyebabkan pendangkalan sungai karena arus sungai yang tidak stabil karena adanya penggundulan hutan di hulu atau di sepanjang Sungai Ciliwung. Cornelis Chastelein telah mengingatkan kita di dalam wasiatnya karena ia telah menyadarinya.
Semua itu harus berakhir dan pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun Pintu Air Manggarai dan Banjir Kanal Barat (BKB) untuk mengantisipasi luapan Sungai Ciliwung yang semakin tidak tstabil dan tidak terkendali. BKB ini adalah sungai besar buatan untuk mengalihkan sebagian air Ciliwung ke arah sisi barat Jakarta—Dalam kaitan ini sejumlah kanal, sodetan dan pintu air juga dibangun. Tujuannya untuk menyelamatkan pusat kota dan kawasan istana Gubernur Jenderal. Dalam halaman berikut ada beberapa penampilan Sungai Ciliwung yang terekam dengan baik pada masa doeloe di Batavia dan Meester Cornelis dapat dilihat pada lampiran. Dikompilasi olehAkhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber berikut: -Ekspedisi Ciliwung: laporan jurnalistik Kompas : mata air, air mata, -jakarta.go.id, -nla.gov.au, -kitlv.nl, -wikipedia.
 
Sungai Ciliwung di Jatinagera 1880
 
Perayaan Lomba Hias Perahu Orang Tionghoa di Jatinegara 1895
 
Perahu di Matraman 1890
 
Jembatan di Ciliwung di Matraman 1890
 
Sungai Ciliwung di Matraman, 1900
 
Rakit dari bamboo di Sungai Ciliwung di Jatinegara 1901

 

1 responses to “Dulu, Ciliwung Paling Bersih dan Paling Baik di Dunia

  1. Wah artikelnya sangat bagus gan. saya jadi tahu tentang masalalu kota Batavia. makasih gan infonya.

Tinggalkan komentar